Setelah selama sebulan melayang-layang mengisi hidup hanya dengan yang namanya fangirling, kehidupan perkuliahan seminggu kemarin ini sangat membuat badan terasa sepeti adonan yang sedang diuleni.
Tiba-tiba jadi kurang tidur, tiba-tiba sakit bahu -yang sudah hilang waktu libur- muncul kembali, tiba-tiba kaki pegal-pegal, tiba-tiba hidup jadi berat.
Pelajaran baru yang harus dicerna dalam waktu singkat dikala tubuh masih pontang-panting melawan rasa kantuk, tugas-tugas yang muncul saat kemampuan manajemen waktu yang menguap entah ke mana waktu liburan belum kembali pulih, dan ketidak-belum -mampuan mengadaptasikan jam tidur yang menjadikan 'ngantuk' – 'tidur waktu kuliah' – 'ga ngerti' – 'bingung bikin tugas' – 'lembur bikin tugas' – 'kurang tidur' – 'ngantuk' layaknya siklus setan yang tidak mendukung niatan hati untuk mendapat nilai lebih baik di modul yang baru ini.
Ini belum ditambah beban personal.
Belum ditambah pekerjaan organisasi.
Jatuh bangun Salemba – Bintaro.
Saya adalah satu dari segelintir orang yang masih nomaden, memilih untuk pulang ke rumah yang agak jauh di pinggir kota sana, tanpa menggunakan kendaraan pribadi. Kendaraan umum yang paling nyaman dan cepat mengantar saya adalah kereta commuter jurusan Serpong – Jakarta. Menggunakan kereta, mulai dari kereta ekspres AC sampai kereta langsam, membuat saya harus menyesuaikan waktu pergi maupun pulang dengan jadwal kereta, menyesuaikan waktu bangun tidur dengan sempat tidaknya mengejar kereta juga.
Perjalanan pergi dan pulang mengejar kereta ini menghabiskan nyaris 1/10 hidup saya 1.5 tahun ini. Mungkin tidak setiap hari, tapi saya bisa bilang... 45 menit (bila tidak ada gangguan) stasiun Manggarai – Pondok Ranji atau kira-kira 1 jam kampus – depan rumah memiliki banyak pengalaman menarik yang bisa dibagi. Ada saja yang bisa diceritakan, mulai dari kisah menyebalkan masalah gerbong wanita dan segala macam manusia yang terlibat di dalamnya, lika-liku waktu-sudah-mepet-bajaj-itu-mahal-tapi-tidak-ada-bemo, bertemu kenalan lama yang ternyata satu jurusan, berburu jajanan di stasiun, sampai cerita jadi obat-nyamuk-berdalih-hijab buat 2 orang kakak kelas saya yang satu jurusan pulang.
Untuk kesempatan kali ini, saya akan sedikit berbagi tentang bagaimana jatuh bangun Salemba – Bintaro 'membentuk' diri saya.
Jatuh bangun Salemba – Bintaro adalah salah satu cara diet paling efektif yang pernah saya tau.
Coba tanya pada para penghuni kampus Salemba, “sejak masuk kuliah, berat badan naik atau turun?” mayoritas pasti menjawab naik. Lucunya, banyak dari yang berat badannya naik ini sewaktu di SMAnya berpikiran “ah nanti kalau kuliah pasti sibuk. Nanti berat badan pasti turun.” dan nyaris semuanya akan mengehela nafas dan berkomentar “ternyata kalau stres makan jadi tambah banyak.”
Berkat Jatuh Bangun Salemba-Bintaro (selanjutnya disebut JBSB), saya dengan bangga menyatakan: berat badan saya sama dengan saat masuk kuliah. Malah cenderung turun.
JBSB membantu saya mengatur berat badan dengan beberapa cara:
udah ya, gue mesti ngejar kereta nih
Merupakan kalimat trademark saya untuk pamit pulang dari kampus. Saya cukup sering pulang jauh setelah jam kuliah selesai karena 'nyangkut' dulu di ruang kemahasiswaan. Percayalah, ruang itu punya kekuatan super besar yang menjadikan mereka yang ada di dalamnya luar biasa males gerak.
Rapat, membuat tugas, menyedot bandwith wireless kampus, donlot bergiga-giga, jajan, bergosip, tidur-tiduran sampai tidur beneran. MAGER BANGET LOH MAGER. Bahkan ke toilet pun ditunda sampai kekuatan sfingter habis saking magernya.
Dan kemudian tidak terasa sudah waktunya pulang. Dan entah kenapa tiba-tiba obrolan jadi menarik. Dan akhirnya saya harus lari-lari cari bemo untuk ke stasiun sampai ke dekat megaria, atau kalau memang masih ada uang lebih, mencegat bajaj (yang ongkosnya 4x lipat bemo). Terkadang saya ber 'oh yaudah pulangnya dari tanah abang aja deh' karena benar-benar keasyikan mager di ruang kemahasiswaan. Dan ini membuat saya harus jalan 15 menit sampai Cikini untuk cari kopaja ke tanah abang, lalu lari-lari masuk stasiun (yang fyi harus naik tangga dari tempat masuk sampai ke tempat beli tiket, lalu turun lagi ke peron untuk masuk kereta) karena sampai di sana mepet. Ini juga karena mager yang ternyata berkelanjutan.
Fiuh. Mager jaya unite.
kalo beli makan sekarang, nanti ga ada ongkos pulang
Saya adalah manusia pelit jaya. Berhubung sekali jalan Salemba-Bintaro bisa menghabiskan ongkos sampai 10 ribu rupiah, saya hampir selalu bawa bekal. Sejujurnya, bekal yang saya bawa itu tidak cukup mengingat saya seringkali berada di kampus sampai jam 6 sore (karena si mager jaya yang tadi itu). Pertimbangan 'kalau darurat nanti harus naik bajaj ke stasiun dan itu mahal' membuat saya cukup bersabar menunda makan. Lapar sih, tapi ga ada duit, gimana dong?
jajan di stasiun aja deh lebih murah
Saya dan 2 orang adik saya sama-sama selalu bawa bekal. Sayangnya, tidak semua tempat bekal yang kami punya berukuran besar. Kalimat di atas akan terlontar kalau hari itu saya kebagian tempat bekal kecil. “laaaaaaaapaaaaaar” saya akan mengeluh tiap berapa menit. Dan rasa lapar ini mengalahkan mager jaya unite, membuat saya bergegas ke stasiun lebih awal agar punya waktu untuk mencari makanan murah meriah terlebih dahulu. Kalau saya tidak hoki, terkadang saat sampai di stasiun barang dagangan si penjual sudah habis (dan penjual jajanan yang 'shift berikutnya' belum datang) jadi saya harus puas mengunyah snack-snack bungkus kecil harga seribuan. Nyem nyem.
Saya tidak membatasi makan. Ini terbukti karena selama weekend berat saya akan naik sampai kurang lebih 2 kg. Dan JBSB terbukti membentuk saya karena setiap hari jum'at, hari terakhir JBSB of the week, berat saya lebih ringan 2 kg dibanding Senin pagi.
Semoga bagaimana JBSB membentuk saya ini tidak berakibat buruk bagi kesehatan (di luar efek asap knalpot saat naik bemo untuk transport kampus – stasiun). Kenapa tidak ngekos? Malas. Itu saja alasannya. Saya malas adaptasi lagi, saya malas keluar duit lebih. Saya pelit jaya, dan biaya hidup saat ngekos bisa mencapai 5x lipat biaya JBSB. Kalaupun mau hitung uang lelah berjatuh bangun, saya masih dilanda ketakutan tidak bisa menggunakan waktu yang akan tersedia lebih banyak saat ngekos untuk hal-hal yang seharusnya dan sebaiknya.
Sekarang ini, saya sedang dalam tahap meng-agak-obsesif-kompulsifkan diri sendiri dengan membuat cheklist routine-to-do-list (yang merupakan pelaksanaan resolusi tahun baru yang terlambat dibuat) yang harus dilakukan setiap harinya untuk memperbaiki diri dan juga manajemen waktu yang menguap kemarin itu. Mari do'akan saya berhasil. Tanpa jadi agitasi. Tanpa jadi lebih irritable. Dan tentu untuk jadi manusia lebih baik.
2 comments:
Hai...
Tolong dunk dijelasin rute perjalanan dari Bintaro ke salemba n sebaliknya..
FYI, dari bintaro jam 5.. dari salemba jam 9-an malam..
mulai minggu depan, aq bakal nempuh kayak gt selama 2 thn.. huhu...
sekolah bisnis terbaik di indonesia 2017
Sekolah Bisnis Prasetiya Mulya
Sekolah Bisnis Terbaik di Indonesia 2017
Biaya Kuliah Murah
Post a Comment